Malin Kundang
Apa yang anda ingat tentang kisah Malin Kundang?
Ingatan masa kecil saya terpaku pada anak yang durhaka pada anaknya.
Tapi sekarang berbeda
Maling Kundang pertama kali saya dengar
itu ketika duduk di Sekolah Dasar. Ada kisah Malin Kundang di buku
pelajaran. Mungkin anda juga mengetahuinya dari sumber yang sama, atau
mungkin sudah tahu terlebih dahulu. Seperti kebanyakan anak kecil,
imajinasi saya melayang ke jaman dahulu ketika Malin Kundang hidup. Saya
membayangkan apa yang terjadi pada saat itu.
Saya membayangkan jadi
peran anak dan merasa jengkel mengapa Malin Kundang begitu durhaka sama
ibu kandungnya sendiri. Kok ada anak yang begitu tega melupakan ibu
yang melahirkannya. Entah kesimpulan saya sendiri atau pelajaran yang
disampaikan oleh guru, yang jelas pelajaran yang saya ingat adalah
jangan jadi anak durhaka, nanti dikutuk jadi batu.
Sampai kemudian,
saya menjadi bapak dari seorang putri bernama Ayunda Damai. Saya
sebagaimana bapak yang lain, sayang sama putri saya. Dan sayang pada
anak tidak semudah mengucapkannya. Sayang pada anak seperti sebuah
perjalanan terjal dan berliku, ada saja kejadian yang menguji kesabaran
saya sebagai seorang bapak.
Ketika masih bayi, saya dan mamanya
bergadang untuk menjaga agar putri kami bisa tidur nyenyak. Tengah malam
bangun, membuatkan susu, mengganti popok, bahkan sampai menggendong
berjam-jam agar Damai bisa tidur tenang. Terlebih ketika di rumah
kontrakan kami yang beratap asbes sehingga hawa panas menganggu
kenyamanan Damai.
Ketika berusia setahun, Damai pun punya hobi yang
menguras energi. Sebelum tidur, minta digendong bapaknya. Bukan gendong
biasa yang diayun dengan perlahan dan tenang. Tapi digendong dengan
iringan lagu rancak seperti Disco Lazy Time, diayun kesana-kemari sampai
tertidur antara setengah sampai satu jam. Alhasil, badan pun basah
kuyub karena keringat yang mengalir deras.
Ujian demi ujian buat
kesabaran orang tua pasti tidak hanya saya saja yang mengalaminya. Orang
tua lain pun mengalaminya meski mungkin bentuk ujiannya berbeda-beda.
Tantangan terbesar yang saya rasakan adalah bagaimana mengelola
kesabaran, bagaimana tetap memandang anak saya sebagai anak baik. Saya
berbicara pada diri sendiri untuk meneguhkan keyakinan. Saya ubah lirik
lagu yang menyatakan keyakinan saya bahwa Damai anak baik. Banyak lagi
caranya.
Saya sayang anak saya bukan karena anak saya bersikap baik.
Saya sayang anak saya bukan karena anak saya adalah anak hebat. Saya
sayang anak saya bukan karena anak saya punya prestasi luar biasa. Saya
sayang anak semata-mata dia adalah anak saya. Dia anak saya adalah
alasan yang cukup buat saya untuk terus menyayanginya.
Ujian demi
ujian tersebut ternyata kemudian juga mengubah sudut pandang saya. Saya
pernah jadi anak, saya punya sudut pandang sebagai anak. Sekarang saya
jadi bapak, saya punya sudut pandang sebagai bapak. Sudut pandang yang
berpengaruh pada cara saya memaknai kisah Malin Kundang.
Sekarang
ketika jadi orang tua mendengar kisah Malin Kundang, saya membayangkan
posisi orang tua dan gemes sama sikap ibunya. Kalaupun marah, mengapa
sampai mengutuk anaknya jadi batu. Menurut saya, kisah ini sebenarnya
adalah kisah buat orang tua, sebenarnya adalah sebuah peringatan bagi
saya sebagai orang tua. Sebuah peringatan untuk bersabar dan
berprasangka baik pada anak.
Marah itu seperti api. Ketika kecil,
kemarahan dapat membersihkan rumput-rumput liar. Tapi ketika tidak
terkendali, kemarahan dapat membakar semuanya, termasuk hati seorang
anak. Saya membayangkan, kemarahan orang tua yang berlebihan bisa
membuat anak menjadi batu, setidaknya hati anak kita membatu. Seperti
api yang membakar tanah lempung yang mulanya lunak menjadi begitu keras.
Kemarahan yang berlebihan hanya akan menghasilkan sikap yang keras.
Semakin sering dimarahi, semakin membatu hati seorang anak.
Dan saya
tidak ingin anak saya jadi batu, pun tidak ingin hati anak saya
membatu. Senakal apapun, sedurhaka apapun, seorang anak tetaplah anak
kita. Ketika (hatinya) membatu, kita sebagai orang tua pasti yang lebih
menyesal. Anak mungkin menyesal juga, tapi penyesalan kita sebagai orang
tua akan jauh lebih mendalam. Semoga kisah Malin Kundang bisa jadi
pelajaran bagi saya, bagi orang tua yang lain, untuk lebih bersabar,
lebih penuh kasih sayang, dan tetapberprasangka baik pada anak. Aamiin.
Apa arti kisah Malin Kundang bagi anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar