Anak tentu pernah ‘tidak menurut’ dan orangtua berusaha
menghukum atau mendisiplinkannya agar perilakunya membaik. Namun niat
mulia itu bisa tergelincir menjadi KDRT jika orangtua terbawa emosi.
Bagaimana cara menghukum anak tetapi tetap penuh cinta agar perkembangan
jiwa anak tetap sehat?
Dalam mendidik anak, disiplin
berarti mengajari anak untuk belajar mematuhi aturan dan tata tertib
dalam kehidupan bersama entah dalam lingkungan keluarga, masyarakat,
atau sekolah. Disiplin sebagai sikap sangat penting agar anak tidak
berperilaku semau gue, anak juga belajar untuk mengendalikan diri. Oleh
sebab itu, disiplin sering dikonotasikan dengan tindakan “’ketegasan”
atau “hukuman” terhadap pelanggaran yang dilakukan anak. Tak jarang atas
nama kedisiplinan, orangtua atau guru bisa melakukan kekerasan anak.
Bagaimana semestinya mendisiplinkan anak?
Sering muncul keluhan
anak-anak sekarang sulit didisiplinkan, cenderung melawan dan berani
membantah orangtua atau guru. Namun, tindakan kekerasan bukannya
mengubah perilaku, justru memperburuk hubungan dengan anak.
Di lain
pihak, ada pula yang pendapat agar orangtua lebih bersikap lemah lembut
dan penuh kasih sayang terhadap anak. Apakah sikap “lembek” dan permisif
semacam ini justru tidak akan memperburuk keadaan, membuat anak-anak
semakin brutal dan tidak tahu sopan santun serta aturan?
Disiplin Bukan Kekerasan
Penanaman disiplin terhadap anak, sementara ini masih diidentikkan
dengan menerapkan perilaku kekerasan terhadap mereka. Padahal tindak
kekerasan seperti memukul, menjewer, mencubit, menabok, menjambak atau
mengunci dalam ruang tertutup akan mengganggu mental anak sampai dewasa.
Rusaknya mental anak tidak bisa dengan segera disembuhkan ketimbang
menyembuhkan penyakit fisik mereka. Jika sakit fisik yang diderita
membutuhkan waktu tiga bulan misalnya, masalah nonfisik ini membutuhkan
waktu bertahun-tahun hingga mereka kembali normal, dan hampir tidak ada
yang bisa kembali normal seperti sediakala.
Banyak orang dewasa yang
selalu terkenang oleh tindakan yang diterimanya di waktu kecil. Sebab,
perlakuan kekerasan yang berpengaruh pada mental mereka justru berdampak
kurang bagus. Watak kekerasan yang diterima pada masa kanak-kanak akan
selalu tercermin dari perilakunya.
Penelitian Martha F. Erickson
yang menemukan bahwa 50 persen ibu-ibu yang sadis pada anaknya,
ternyata pada masa kecilnya pernah diperlakukan sadis pula oleh
orangtuanya. John Kaufman dalam penelitiannya pun menyebutkan, 30 persen
ayah yang berperilaku sadis pada anaknya, pada masa kecilnya
diperlakukan sadis oleh orangtuanya. Bahkan, Judith Herman dalam
penelitiannya menemukan 15 persen pembunuh berdarah dingin yang ada di
penjara Amerika pada masa kecilnya mendapatkan perlakuan kasar dari
orangtuanya.
Sebagian besar perilaku seseorang merupakan hasil dari
satu proses peniruan yang didapatkan dari orangtuanya dan orang dewasa
di sekitarnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Apabila
contoh perilaku yang ditunjukkan orang dewasa berupa kekerasan, maka
tindakan kekerasan yang ditirunya.
Namun apabila contoh yang
ditunjukkan orang dewasa berupa perilaku kasih sayang, saling menghargai
dan perhatian, maka anak pun akan mencontohnya.
Pertengkaran
antar orangtua sering kali membuat anak menjadi korban, bukan hanya
karena dampak psikologisnya, tetapi anak sering menjadi objek
pelampiasan kemarahan orangtua.
Orangtua juga sering tidak sadar
bahwa kebiasaan-kebiasaan lama seperti menjewer, menyentil dan mencubit
jika anak bersalah sesungguhnya merupakan kekerasan terhadap anak.
Budaya seperti itu sudah sangat mengakar di masyarakat sehingga hukuman
fisik dianggap biasa.
Dialog Bisa Cegah KDRT
Anak usia dua
tahun sudah bisa berdialog, dengan begitu dia sudah mengerti dengan apa
yang kita omongkan, maka untuk penyelesaiannya agar tidak terjadi
kekerasan sebaiknya orangtua berdialog dengan anak dan memberitahu
secara halus tentang perbuatannya.
Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D
(Psikoanalis, seksolog & psikolog)
#Nudi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar